Iklan
Aceh Singkil— Saat malam turun, gubuk berukuran 4x4 meter yang beralamat di Desa Tanah Bara kecamatan Gunung Meriah, berubah menjadi dunia kecil yang sunyi. Ibu Mawarni (30) mematikan lampu seadanya, lalu merapatkan keempat anaknya ke satu sudut ruangan. Tidak ada kamar. Tidak ada ranjang. Hanya tikar tipis di lantai, dan dinding kayu rapuh yang tak mampu menahan dingin.
Hampir dua tahun lalu, Mawarni kehilangan suaminya—dan sejak itu, ia juga kehilangan tempat bersandar. Sejak hari itu pula, ia harus menjadi segalanya: ibu, ayah, dan pelindung bagi empat anak yatim yang masih terlalu kecil untuk mengerti mengapa hidup tiba-tiba terasa begitu berat.
Gubuk itu menjadi saksi ketabahan yang sunyi. Satu ruang dipaksakan menjadi dapur sekaligus tempat tidur. Saat Mawarni memasak, anak-anak menunggu di sudut, memeluk lutut mereka. Saat malam tiba, bau asap dan sisa makanan bercampur dengan aroma lembap kayu tua.
“Kalau hujan, kami duduk saja menunggu,” ucap Mawarni pelan. Atap bocor, air menetes tepat di tempat mereka tidur. Ia memindahkan anak-anak satu per satu, memastikan tak ada yang kehujanan, meski dirinya sendiri basah dan menggigil.
Untuk makan, Mawarni tak memilih pekerjaan. Membersihkan kebun, membantu tetangga, apa pun ia jalani. Ada hari di mana ia pulang tanpa uang, hanya membawa rasa lelah dan senyum yang dipaksakan di depan anak-anak. “Ibu sudah makan,” katanya, meski perutnya perih.
Yang paling menyayat adalah pagi hari. Anak-anak bersiap sekolah di ruang sempit yang sama tempat mereka tidur. Tak ada meja belajar. Buku-buku disusun di sudut agar tak basah. Mereka belajar berbagi bukan hanya ruang, tapi juga kesedihan yang tak pernah mereka ucapkan.
Di tengah keterbatasan itu, secercah harapan akhirnya datang. Gerakan Relawan Rumah Dhuafa Indonesia (GARDA Indonesia) memastikan akan membangun rumah layak huni bagi Mawarni dan anak-anaknya. Kepastian itu diperkuat dengan surat hibah tanah dari sang mertua, Ibu Tianna (70).
“Saya hanya ingin cucu-cucu saya punya tempat berteduh yang layak,” ucapnya dengan suara bergetar.
Relawan GARDA Indonesia mengakui kondisi Mawarni sudah lama dipantau, namun waktu berjalan terlalu lama bagi anak-anak yang tumbuh tanpa ruang aman. Karena itu, rumah Mawarni kini ditetapkan sebagai prioritas utama dan diberi nama #R007—rumah ketujuh yang dibangun lewat gerakan berbagi Rp10.000 per bulan.
Bagi Mawarni, rumah itu bukan soal tembok atau atap. Ia adalah harapan sederhana: agar anak-anaknya bisa tidur tanpa kebocoran, belajar tanpa takut hujan, dan tumbuh tanpa rasa malu akan kemiskinan.
Di gubuk kecil itu, setiap malam Mawarni masih memeluk anak-anaknya erat. Ia tak tahu kapan rumah baru akan berdiri. Tapi ia tahu satu hal: selama napas masih ada, ia akan terus bertahan—demi empat anak yang menggenggam hidupnya.Dan di balik dinding rapuh itu, ada doa-doa kecil yang terus dipanjatkan, menunggu untuk didengar.

Tutup Iklan