Iklan
![]() |
| Ilustrasi, AI |
Aceh Singkil — Peringatan Aliansi Muda Penggerak Aceh Singkil (AMPAS) agar dana bantuan bencana Presiden Prabowo Subianto senilai Rp4 miliar tidak dijadikan ajang “bancakan” anggaran kian menemukan relevansinya. Hal ini menyusul terungkapnya pembagian dana Belanja Tidak Terduga (BTT) ke sejumlah Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK), termasuk Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh Singkil yang menerima alokasi Rp800 juta.
Plt Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Singkil, Abdul Hanan, membenarkan bahwa dana tersebut telah direalisasikan melalui Badan Pengelola Keuangan Kabupaten (BPKK). Menurutnya, anggaran itu direncanakan untuk pengadaan kebutuhan pesantren dan masjid terdampak banjir, seperti sajadah, jilbab, ambal, serta perlengkapan rumah ibadah lainnya.“Benar, hari ini sudah direalisasikan,” ujar Abdul Hanan saat dikonfirmasi, Selasa (24/12/2025).
Namun hingga kini, DSI belum memaparkan secara terbuka rincian daftar belanja, nilai satuan barang, maupun mekanisme pengadaan yang akan digunakan. Minimnya transparansi tersebut memicu tanda tanya publik, mengingat dana yang digunakan bersumber dari bantuan bencana pemerintah pusat yang penggunaannya diikat ketat oleh regulasi.
Sebelumnya, AMPAS telah mewanti-wanti Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil agar tidak bermain-main dengan dana bencana Rp4 miliar tersebut. Sekretaris Jenderal AMPAS, Budi Harjo, menegaskan bahwa dana bantuan presiden bukan anggaran fleksibel yang bisa dibagi sesuka hati ke SKPK.
“Dana ini bukan dana bebas kelola. Surat Edaran Mendagri sudah sangat jelas mengatur. Jika tidak transparan dan tidak dibuka ke publik, itu bukan sekadar persoalan etika, melainkan kepatuhan hukum,” tegas Budi, Selasa (23/12/2025).
Dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ditegaskan bahwa bantuan pemerintah pusat wajib digunakan langsung untuk penanganan bencana, mulai dari tahap tanggap darurat, rehabilitasi, hingga rekonstruksi. Penggunaan di luar konteks tersebut tidak dibenarkan dan harus ditetapkan melalui keputusan kepala daerah serta dialokasikan secara tertib melalui mekanisme BTT.
SE tersebut juga menegaskan bahwa kepala daerah memikul tanggung jawab penuh atas transparansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan, baik kepada pemerintah pusat maupun kepada masyarakat. Artinya, pembagian anggaran ke SKPK tidak bisa dilepaskan dari peran Bupati Aceh Singkil sebagai penanggung jawab kebijakan anggaran, serta Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten (TAPK) sebagai perumus teknis alokasi.
Selain DSI, Dinas Pendidikan Aceh Singkil juga diketahui menerima alokasi Rp1,7 miliar dari dana yang sama, meski sebelumnya mengusulkan anggaran sebesar Rp2,1 miliar. Dana tersebut direncanakan untuk pengadaan tas, pakaian sekolah, buku, serta perlengkapan belajar bagi siswa SD dan SMP terdampak banjir.
AMPAS juga mengungkap adanya pembagian anggaran ke sejumlah SKPK lain, seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pangan, Dinas Kesehatan, BPBD, Diskominfo, serta dinas lainnya. Namun hingga kini, Pemkab Aceh Singkil belum membuka data resmi dan komprehensif terkait total alokasi per SKPK, dasar penetapan anggaran, maupun progres realisasi di lapangan.
“Kalau dana sudah turun, tetapi keluhan warga tetap sama—logistik minim, infrastruktur rusak belum pulih—maka yang patut dipertanyakan bukan masyarakatnya, melainkan tata kelola anggarannya,” ujar Budi.
AMPAS mendesak Pemkab Aceh Singkil segera membuka secara terbuka rincian penggunaan dana Rp4 miliar tersebut, mulai dari pembagian per SKPK, item belanja, hingga mekanisme pengadaan. DPRK Aceh Singkil juga diminta tidak tinggal diam dan menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal.
“SE Mendagri sudah menjadi pagar hukum. Jika pagar ini dilompati, konsekuensinya jelas. Dana bencana bukan ruang gelap yang bisa dimainkan,” pungkas Budi.
AMPAS menegaskan akan terus mengawal penggunaan dana bantuan bencana tersebut agar benar-benar sampai kepada masyarakat terdampak dan tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku.

Tutup Iklan