Iklan
![]() |
| DPRK Aceh Singkil |
Aceh Singkil — Mandeknya pembahasan Rancangan APBK 2026 hingga penghujung tahun 2025 dinilai sebagai kelalaian serius kepala daerah yang berpotensi menyeret Aceh Singkil ke krisis tata kelola anggaran. Dokumen kunci anggaran yang seharusnya menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan justru “digantung”, tanpa kepastian pembahasan dan pengesahan bersama DPRK.
Keterlambatan penyerahan R-KUA-PPAS yang baru masuk ke DPRK Aceh Singkil di akhir tahun 2025 secara otomatis menggugurkan ruang waktu konstitusional bagi legislatif untuk membahas dan menetapkan APBK 2026 tepat waktu. Akibatnya, Aceh Singkil terancam memasuki tahun anggaran baru tanpa APBK yang disahkan melalui qanun.
Situasi ini membuka peluang penggunaan skema Peraturan Bupati (Perbup) sebagai dasar belanja daerah, sebuah kondisi darurat yang dinilai rawan penyalahgunaan kewenangan dan melemahkan fungsi pengawasan DPRK.
Aliansi Muda Penggerak Aceh Singkil (AMPAS) menyebut kondisi tersebut bukan lagi kesalahan administratif biasa, melainkan indikasi buruknya tata kelola pemerintahan dan pengabaian terhadap prinsip kemitraan eksekutif–legislatif.
“R-APBK 2026 ini seperti digantung. Tidak dibahas, tidak disahkan, dan dibiarkan melewati batas waktu. Ini kelalaian berat yang dampaknya langsung ke rakyat,” tegas Sekjen AMPAS, Budi Harjo, Selasa (30/12/2025).
AMPAS menilai, akibat kegagalan pembahasan APBK, pelayanan publik terancam tersendat, program pembangunan berpotensi mandek, serta kepastian anggaran bagi masyarakat dan pelaku pembangunan menjadi tidak jelas sejak awal 2026.
Dalam kondisi tersebut, AMPAS mendesak DPRK Aceh Singkil tidak sekadar menggunakan hak interpelasi, tetapi langsung menempuh hak angket untuk mengusut penyebab keterlambatan R-KUA-PPAS dan R-APBK 2026.
“Hak angket wajib digunakan untuk membuka apakah ini murni kelalaian, atau ada unsur kesengajaan dan kompromi politik. Kalau DPRK terus diam, publik wajar curiga,” lanjut Budi.
Lebih jauh, AMPAS secara terbuka mendorong DPRK agar tidak ragu melangkah ke hak menyatakan pendapat apabila hasil angket menemukan adanya pelanggaran sumpah jabatan atau kelalaian serius yang merugikan kepentingan umum.
“Jika terbukti ada pelanggaran berat, maka wacana pemakzulan kepala daerah adalah konsekuensi konstitusional yang sah. Ini bukan ancaman, tapi mekanisme yang diatur undang-undang,” tegasnya.
Secara normatif, kewajiban kepala daerah menyerahkan R-KUA-PPAS dan R-APBK tepat waktu diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta regulasi pengelolaan keuangan daerah. Mengabaikan kewajiban tersebut hingga melampaui batas waktu dinilai sebagai pelanggaran serius tata kelola pemerintahan dan merugikan masyarakat Aceh Singkil.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil belum memberikan klarifikasi resmi terkait keterlambatan penyerahan dan kegagalan pembahasan R-APBK 2026.
Kini bola panas berada di tangan DPRK Aceh Singkil: menggunakan hak angket dan membuka jalan pertanggungjawaban politik, atau membiarkan R-APBK 2026 terus “digantung” tanpa kejelasan dan tanpa konsekuensi.

Tutup Iklan