Iklan

Senin, 01 Desember 2025, 18.32.00 WIB
ACEH SINGKIL

Dana BTT Dipertanyakan di Tengah Jeritan Warga Terdampak Banjir Aceh Singkil

Iklan

Rumah - rumah warga Dusun Handel, Desa Rimo Kecamatan Gunung Meriah Terendam Banjir Sampai ke Atap Beberapa Hari lalu. (Tangkap Layar, Video Drone, Istimewa)

Aceh Singkil - Banjir yang melanda Aceh Singkil selama sepekan memperlihatkan bagaimana tata kelola penanggulangan bencana di tingkat daerah masih jauh dari ideal. Sementara debit air meninggi dan ribuan warga berpindah ke tempat pengungsian, pemerintah daerah belum sepenuhnya menunjukkan kapasitas institusional yang memadai. Yang terlihat di lapangan justru kerja sporadis dari banyak pihak—kecuali pihak yang paling bertanggung jawab.


Bantuan makanan, perahu, logistik, hingga perbaikan akses sementara untuk menembus desa-desa yang terisolasi lebih banyak diinisiasi oleh jejaring komunitas, lembaga sosial, yayasan, partai politik, masyarakat sipil, dan sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) serta turut hadir menutup kekosongan logistik.


Akan tetapi, perhatian publik terpusat pada satu persoalan krusial: ketiadaan penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT) oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.


*Anggaran Ada, Tapi Tidak Bergerak*


Dalam sistem keuangan daerah, BTT merupakan pos anggaran yang disediakan untuk keadaan luar biasa. Begitu status tanggap darurat ditetapkan oleh kepala daerah, ketentuan hukum memberi keleluasaan penggunaan dana tersebut melalui mekanisme Dana Siap Pakai, sebuah skema yang dirancang agar anggaran bisa dicairkan cepat dan tepat.


Banjir besar, kerusakan infrastruktur, serta kebutuhan vital masyarakat jelas memenuhi kategori kondisi luar biasa. Namun hingga berita ini ditulis, belum ada penjelasan resmi bahwa BTT Aceh Singkil telah dicairkan. Tak ada tanda-tanda bahwa anggaran darurat itu sudah ditarik dari Kas Daerah untuk memperkuat penanganan bencana.


Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan mendasar. Jika BTT tidak digunakan dalam situasi seperti ini, kapan lagi anggaran tersebut dianggap layak digunakan?

Dan mengapa fungsi dasar anggaran darurat justru berhenti ketika publik paling membutuhkannya?


*Minim Transparansi, Maksimal Kebingungan*


Ketidakjelasan ini diperparah oleh absennya komunikasi resmi dari pemerintah daerah. Tidak ada penjelasan publik mengenai:


1. Apakah BTT tersedia pada tahun anggaran berjalan?



2. Jika tersedia, mengapa belum digunakan meski status tanggap darurat telah ditetapkan?



3. Apakah ada hambatan administratif, atau justru perdebatan internal yang membuat proses pencairan tertunda?



4. Apakah pemerintah daerah menunggu bantuan provinsi dan pusat menanggung sebagian besar biaya?



Direktur Central dan Keadilan (CHK) Aceh Singkil, Razaliardi Manik, menyampaikan kritik yang mewakili keresahan publik:


“Menurut pengamatan saya, BTT belum digunakan atau belum ditarik dari Kas Daerah. Padahal seharusnya sudah bisa digunakan. Kebutuhan masyarakat pascabanjir saat ini justru terpenuhi dari bantuan provinsi.”katanya kepada PENAACEH, Senin (1/12/2025).



Razaliardi memperingatkan potensi munculnya kecurigaan publik jika BTT tidak tersentuh hingga akhir masa tanggap darurat. Ia menegaskan bahwa keterbukaan pemerintah adalah kebutuhan mendesak untuk menghindari spekulasi liar mengenai nasib anggaran tersebut.


*Pemerintah Tidak Boleh Berjarak dari Warganya*


Razaliardi menilai bahwa persoalan BTT Aceh Singkil bukan hanya soal teknis anggaran, melainkan problem tata kelola yang lebih dalam. Pemerintah daerah seharusnya menjadi institusi pertama yang bergerak dalam situasi darurat. Ketika fungsi itu diambil alih oleh pihak lain, legitimasi pemerintah dipertanyakan.


Ketiadaan penggunaan BTT di tengah bencana menandakan adanya kekosongan kepemimpinan, baik dalam perencanaan, pengambilan keputusan, maupun keberanian administratif. Dalam konteks bencana, keragu-raguan semacam ini dapat mengarah pada kegagalan negara menjalankan mandat konstitusionalnya untuk melindungi rakyat.


Adalah keliru jika pemerintah daerah mengandalkan bantuan provinsi dan pusat sebagai substitusi, bukan pelengkap, anggaran daerah. BTT bukan sekadar angka dalam dokumen APBK, melainkan instrumen proteksi publik yang secara moral dan hukum wajib digunakan.


*Menutup Celah Spekulasi*


Dalam setiap bencana, informasi yang tidak disampaikan secara transparan akan segera digantikan oleh asumsi publik. Spekulasi atas BTT Aceh Singkil berkembang cepat bukan karena masyarakat terlalu curiga, tetapi karena pemerintah terlalu diam.


Razaliardi meminta Pemerintah Aceh Singkil untuk:


Menjelaskan secara terbuka status BTT tahun berjalan (2025)


Mengumumkan mekanisme penggunaan yang sedang atau akan ditempuh.


Menguraikan kebutuhan anggaran darurat yang telah di mapping, termasuk rencana penyalurannya.


Menyampaikan hambatan, jika ada, beserta langkah penyelesaiannya.



Keterbukaan adalah langkah awal memulihkan kepercayaan publik.

Keengganan menjelaskan hanya akan memperbesar jarak antara pemerintah dan warga yang sedang menghadapi situasi paling sulit dalam hidup mereka.


*Darurat Membutuhkan Keputusan*


Banjir memang bencana alam. Namun ketidakjelasan penggunaan BTT adalah pilihan kebijakan.

Pemerintah Aceh Singkil perlu segera mengakhiri kebisuan ini. Karena dalam keadaan darurat, ketidakpastian adalah bentuk kelalaian yang tak dapat ditoleransi, terlebih ketika menyangkut keselamatan warganya sendiri.


Kehumasan pemerintah daerah harus proaktif, jangan berdiam di tengah kondisi yang tai menguntungkan ini.pintanya.

Close Tutup Iklan