Iklan
![]() |
| Ibu kota Singkil, Kecamatan Singkil Tergenang Banjir (Tangkap Layar Video Drone , Istimewa) |
Publik Menilai Penanganan Bencana Tak Menyentuh Inti Persoalan: Manusia
Aceh Singkil — Sudah sepekan wilayah Aceh Singkil terendam banjir besar. Ribuan warga terpaksa mengungsi, sebagian berdiam di tempat tinggi dan masjid, sebagian menumpang di rumah kerabat, sementara banyak lainnya membangun posko-posko swadaya sekadarnya baik dari warga maupun dari pemerintahan Desa. Namun situasi darurat ini justru memperlihatkan ironi yang menyakitkan: pemerintah hadir di lokasi bencana, tetapi tidak hadir dalam kehidupan para pengungsi.
Peninjauan dilakukan, kamera bekerja, foto-foto tersebar luas, infrastruktur dihitung nilai kerusakannya. Tetapi di sisi lain, perut masyarakat tetap kosong dan kebutuhan dasar tak terpenuhi. Apa arti semua itu bila esensi pertolongan justru hilang?
Bencana besar seharusnya memanggil naluri kemanusiaan para pemangku kebijakan. Namun pola lama kembali muncul: sibuk mempertontonkan kinerja, bukan menghadirkan kerja nyata.
*Blusukan Tanpa Kebijakan*
Publik menilai, kehadiran Bupati Safriadi Oyon dan jajaran pemerintah daerah di lokasi banjir masih sebatas simbol tanpa substansi. Blusukan memang diperlukan untuk melihat langsung kondisi lapangan, tetapi lebih penting lagi adalah keputusan strategis serta kebijakan yang memastikan warga mendapatkan bantuan cepat dan tepat.Hal ini di nilai oleh Sekjen Aliansi Muda Penggerak Aceh Singkil (AMPAS) di Banda Aceh, Budi Harjo, Senin (1/12/2025).
Dalam bencana-bencana sebelumnya, pemerintah daerah lazimnya membuka posko darurat dan dapur umum. Namun pada banjir kali ini, tahapan-tahapan standar itu tak terlihat jelas. Tidak ada posko induk yang benar-benar berjalan, tidak ada dapur umum resmi, tidak ada mekanisme distribusi bantuan yang terstruktur.
Pertanyaannya: apa yang sebenarnya dikerjakan pemerintah daerah selama status tanggap darurat ini ditetapkan?
*Infrastruktur Didahulukan, Manusia Ditinggalkan?*
"Inilah menjadi tanda tanya publik,"kata Budi Harjo.
Kerusakan jalan, jembatan, rumah serta kebun-kebun warga memang fakta yang tak terbantahkan. Pemerintah tentu berhak memetakan nilai kerugian tersebut. Namun memprioritaskan infrastruktur di tengah situasi saat manusia kehilangan tempat tinggal, makanan, air bersih, dan rasa aman adalah kekeliruan paradigma.
Pada kondisi darurat seperti sekarang, pengungsi seharusnya menjadi prioritas mutlak. Pemerintah harus memastikan mereka makan, minum, sehat, dan terlindungi. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya: pemerintah lebih cepat menghitung nilai kerusakan jalan daripada menghitung jumlah tenda, selimut, obat-obatan, dan beras yang harus segera dibagikan.
Pertanyaan retoris pun muncul: inilah wujud empati atau sekadar rutinitas birokrasi?
*Kekacauan Distribusi Bantuan: Siapa yang Bertanggung Jawab?*
Publik kini mulai mempertanyakan tumpukan bantuan di kantor BPBD Aceh Singkil yang dikabarkan belum disalurkan. Bila benar bantuan itu tertahan karena alasan "takut tak merata", maka itu menandakan kegagalan paling mendasar: ketidakmampuan merancang mekanisme distribusi yang adil dan terkoordinasi.
Tanpa posko resmi, tanpa komando jelas, tanpa pembagian peran, maka kekacauan adalah keniscayaan. Ini bukan sekadar kelalaian administratif—ini kelalaian moral dalam keadaan darurat kemanusiaan.
Sementara itu, Kepala BPBD yang disebut sulit dihubungi justru memperburuk ketidakpastian di publik. Pada saat masyarakat membutuhkan kepastian arah, pejabat berwenang seharusnya menjadi figur yang paling mudah ditemui, bukan sebaliknya.
*Rakyat di Tepi Jurang: Alarm Sosial Mulai Berbunyi*
Dalam kondisi lapar, lelah, dan kehilangan harapan, sebagian warga mulai melontarkan ancaman untuk mengambil paksa bantuan yang menumpuk di gudang BPBD. Ancaman penjarahan tersebut bukan sekadar tindak kriminal, tetapi alarm bahwa situasi sosial telah mencapai titik genting.
Ketika warga berkata, “Perut kami tak bisa lagi diajak kompromi,” itu adalah sinyal bahwa kegagalan pemerintah telah menyentuh ranah paling mendasar: martabat manusia yang diabaikan.
*Pemimpin Harus Turun Sebagai Penolong, Bukan Aktor Pencitraan*
Opini publik kian lantang mempertanyakan kepemimpinan pemerintah daerah. Ungkapan bahwa pemimpin lebih baik mundur bila tak mampu menangani bencana muncul bukan karena kebencian, tetapi karena kekecewaan yang sudah menumpuk.
Pemimpin yang turun ke lokasi bencana hanya untuk berfoto tanpa membawa solusi sejatinya sedang meninggalkan rakyat dalam kesunyian pengungsian.
Aceh Singkil tidak membutuhkan pencitraan ― yang dibutuhkan adalah tindakan nyata, cepat, dan terukur.
*Saatnya Pemerintah Berkaca dan Bertindak Cepat*
Publik yang ingin pemberi solusi menilai pemerintah daerah harus segera mengambil langkah-langkah mendesak berikut:
1. Membuka posko darurat resmi beserta dapur umum di seluruh titik pengungsian.
2. Menyalurkan bantuan secara cepat, transparan, dan terkoordinasi.
3. Mengaktifkan seluruh perangkat daerah, mulai dari BPBD, camat, hingga kepala desa tanpa menunggu instruksi tambahan.
4. Menjelaskan status penggunan dana BTT (Belanja Tidak Terduga) serta alasan lambannya penanganan bencana.
5. Menghentikan seluruh kegiatan pencitraan yang tidak berkaitan langsung dengan penyelamatan warga.
"Banjir ini adalah ujian, bukan panggung. Bila pemerintah tidak mampu menempatkan rakyat sebagai prioritas utama pada masa-masa paling gelap seperti ini, maka legitimasi moral dan politiknya akan runtuh di mata publik,"ujar Budi.
Aceh Singkil tidak membutuhkan pejabat yang hadir di kamera — tetapi pejabat yang hadir di hati rakyatnya.

Tutup Iklan