Iklan
![]() |
| Satgas Penertiban Kawasan Hutan PKH Provinsi Aceh Sita 465,46 Ha Perkebunan Kelapa Sawit di wilayah PT Global Sawit Semesta (GSS) Biskang, Kecamatan Danau Paris, Aceh Singkil. (Istimewa) |
Artikel Feature: Idrus Syahputra
Aceh Singkil - Suasana di kawasan hutan produksi Biskang, Kecamatan Danau Paris, pada tanggal 13 Agustus 2025 berubah tidak seperti biasanya. Beberapa mobil berpelat dinas berhenti di tepi jalan tanah yang memanjang di antara kebun kelapa sawit. Sejumlah petugas berseragam turun, menancapkan papan bertuliskan besar:
“Lahan Perkebunan Sawit seluas 465,46 Hektar ini dalam penguasaan Pemerintah Republik Indonesia C.q Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Dilarang memperjualbelikan dan menguasai tanpa izin Satgas PKH.”
Bagi masyarakat sekitar, pemandangan itu memberi harapan. Setelah bertahun-tahun mendengar kabar tentang perusahaan besar yang menguasai kawasan hutan, akhirnya ada tindakan nyata dari pemerintah. “Kami sempat lega,” kata seorang warga. “Kami pikir inilah awal dibukanya tabir perambahan hutan di Singkil.”
Namun rasa lega itu tidak bertahan lama. Setelah hari itu, tak ada lagi kabar lanjutan. Tidak ada aktivitas lanjutan dari tim. Tidak ada pemulihan kawasan. Tidak ada penegakan hukum yang terlihat di lapangan.
“Sempat datang, lalu tak kembali,” ucap warga lain dengan nada kecewa.
*Hutan yang Berubah Menjadi Sawit*
Aceh Singkil bukan baru kemarin kehilangan hutannya. Di banyak titik, terutama di wilayah Singkohor, Gunung Meriah, Danau Paris, dan Suro, hamparan sawit menggantikan rimbun pohon-pohon hutan produksi dan konversi. Banyak warga mengaku heran bagaimana lahan yang dulunya kawasan negara kini berubah jadi kebun luas yang dikelola oleh pihak tertentu.
Salah satu nama yang disebut dalam laporan masyarakat adalah PT Lestari Tunggal Pratama, perusahaan yang kini berganti nama menjadi PT Global Sawit Semesta (GSS). Perusahaan ini disebut menguasai ribuan hektare hutan produksi di wilayah Danau Paris.
Sebelum Satgas PKH datang, masyarakat hanya bisa mengeluh. Ketika plang penyitaan dipasang, muncul secercah harapan bahwa pemerintah pusat benar-benar serius menertibkan kawasan hutan yang dikuasai tanpa izin. Tapi hingga kini, banyak yang menganggap razia itu belum lebih dari sekadar tindakan simbolis.
*Antara Regulasi dan Realitas*
Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) sebenarnya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Dalam aturan itu, Satgas diberi mandat kuat: menertibkan, memulihkan, dan mengembalikan penguasaan negara atas kawasan hutan yang disalahgunakan untuk perkebunan atau tambang.
Satgas ini bukan sembarang tim. Di dalamnya ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kejaksaan Agung, Polri, TNI, bahkan diketuai langsung oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Pengarahnya pun bukan orang biasa — Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
Namun di lapangan, harapan besar itu sering kali kandas oleh kenyataan. Di Aceh Singkil, warga justru melihat tim Satgas hanya muncul sekali, tanpa tindak lanjut berarti. Padahal, di wilayah ini, hutan-hutan negara telah lama berubah menjadi kebun sawit yang beroperasi tanpa kontribusi nyata kepada negara.
*Ketika Hutan Menunggu Keadilan*
Bagi masyarakat di sekitar hutan, penertiban kawasan bukan sekadar urusan legalitas. Ini tentang masa depan lingkungan, sumber air, dan bencana yang semakin sering datang.
“Kalau hutan terus habis, banjir akan makin sering. Dulu kami jarang dengar banjir di sini, tapi sekarang hampir tiap musim hujan,” ujar seorang tokoh masyarakat Aceh Singkil.
Ia berharap, Satgas PKH tak berhenti pada pemasangan plang. “Kami ingin mereka benar-benar menegakkan hukum. Jangan cuma datang untuk foto lalu pergi. Hutan ini warisan kami untuk anak cucu.”
Kini, papan bertuliskan larangan dari Satgas PKH itu masih berdiri di antara batang-batang sawit yang tinggi. Catnya mulai pudar, huruf-hurufnya mulai kabur oleh hujan dan debu.Namun pesan yang tertulis di sana masih menggantung di benak masyarakat Aceh Singkil: “Dilarang menguasai tanpa izin.”
Masyarakat kini menunggu, apakah pemerintah benar-benar akan menegakkan makna dari kalimat itu.

Tutup Iklan