Iklan
![]() |
| Ruangan Paripurna DPRK Aceh Singkil |
Aceh Singkil — Di penghujung tahun anggaran 2025, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil kembali disorot. Bukan karena keberhasilan capaian pembangunan, melainkan karena satu dokumen penting yang hingga kini tak kunjung tuntas: Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Tahun 2026.
Padahal, dokumen ini adalah jantung dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) tahun berikutnya — sebuah panduan arah belanja dan pembangunan daerah. Namun hingga awal November 2025, rancangan tersebut belum juga sampai di meja pembahasan DPRK Aceh Singkil.
*Alasan Klasik dan Waktu yang Terbuang*
Sejak ditarik kembali pada 21 Oktober lalu, Pemkab Aceh Singkil berdalih masih melakukan penyesuaian akibat adanya pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) yang cukup signifikan oleh pemerintah pusat. Dokumen yang sebelumnya telah diserahkan ke DPRK pada Agustus, kini seakan menguap tanpa kejelasan.
Sudah dua pekan berlalu sejak penarikan, tapi belum juga ada kabar penyerahan ulang. Padahal waktu terus berjalan — dan setiap hari yang terlewat membuat jadwal pembahasan APBK 2026 kian terjepit.
“Awalnya sudah diserahkan ke DPRK pada Agustus 2025 lalu, tapi kemudian ditarik kembali karena ada kebijakan pemotongan TKD. Sampai sekarang belum dikembalikan lagi,” ujar Ketua DPRK Aceh Singkil, Amaliun, Rabu (29/10/2025).
Menurutnya, kondisi ini tidak hanya memperlambat proses administrasi, tetapi juga berisiko menggangu kesinambungan program daerah. “Waktu normal tinggal sekitar sebulan untuk membahas dan menetapkan APBK 2026 menjadi Qanun. Kalau tak segera diserahkan, pembahasan bisa melampaui batas waktu,” tambahnya.
*Antara Koordinasi dan Kepentingan*
Sumber internal menyebutkan, di balik meja birokrasi, pembahasan antara Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten (TAPK) dan Bupati Aceh Singkil disebut masih alot. Penentuan program prioritas dan pembagian sumber pendapatan daerah yang terbatas membuat proses semakin berlarut-larut.
Padahal, tahapan penyusunan anggaran bukan sekadar formalitas. Ia memerlukan pembahasan mendalam antar-SKPK, penyesuaian kegiatan, hingga penetapan prioritas pembangunan yang benar-benar menyentuh masyarakat.
“Kalau terus molor begini, ujungnya rakyat juga yang dirugikan,” kata salah satu anggota DPRK yang enggan disebut namanya.
*Melanggar Jadwal Ideal*
Sesuai Permendagri Nomor 14 Tahun 2025, kepala daerah seharusnya telah menyampaikan rancangan KUA-PPAS kepada DPRD paling lambat minggu kedua Juli. Artinya, sejak awal Pemkab Aceh Singkil sudah terlambat dua bulan dari jadwal ideal yang ditetapkan pemerintah pusat.
Sekda Aceh Singkil sekaligus Ketua TAPK, Edi Widodo, hingga kini belum memberikan penjelasan resmi. Namun publik sudah mulai menilai bahwa keterlambatan semacam ini bukan lagi sesuatu yang baru.
*Pola yang Berulang*
Bagi masyarakat Aceh Singkil, keterlambatan pembahasan anggaran bukan kabar mengejutkan. Setiap tahun, drama yang sama seakan kembali diputar: dokumen molor, pembahasan mepet tenggat, dan program kerja akhirnya dikebut menjelang akhir tahun.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah masalahnya ada pada lemahnya koordinasi antar-SKPK, atau sudah menjadi pola lama yang sulit diubah — kebiasaan saling menunggu antara eksekutif dan legislatif.
Di tengah berbagai alasan teknis yang disampaikan, satu hal yang pasti: waktu terus bergulir. Jika dokumen KUA-PPAS 2026 tak segera diserahkan, Aceh Singkil akan kembali berhadapan dengan risiko keterlambatan penetapan APBK. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, rakyatlah yang paling menanggung akibatnya.

Tutup Iklan