Iklan

Selasa, 11 November 2025, 13.48.00 WIB
ACEH SINGKIL

Nepotisme Seperti Budaya: Oyon Angkat Adik Istri Jadi Ketua MPK Aceh Singkil

Iklan

Lampiran Keputusan Bupati Aceh Singkil Tentang Pengurus Lama MPK dan Baru (Tangkap Layar)

Aceh Singkil – Di tengah semangat reformasi birokrasi dan otonomi pendidikan daerah, Aceh Singkil justru dihadapkan pada ironi.
Keputusan Bupati Aceh Singkil, Safriadi Oyon, mengangkat lima pengurus baru Majelis Pendidikan Kabupaten (MPK) melalui mekanisme pengganti antar waktu (PAW), kini berubah menjadi sorotan publik yang tajam.

Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 188.45/290/2025, yang sekaligus menggantikan kepengurusan periode 2023–2028 di bawah pimpinan Nasrin, S.Pd.I, setelah yang bersangkutan mengundurkan diri karena lulus sebagai PPPK.
Namun langkah yang semula dianggap administratif itu kini dipandang sebagai bentuk penyimpangan prosedur dan dugaan penyalahgunaan kewenangan.

*Qanun yang Dilangkahi*

Menurut Qanun Aceh Singkil Nomor 1 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja MPK, mekanisme PAW harus dilakukan melalui pleno khusus atau musyawarah resmi MPK, dengan melibatkan tiga unsur pimpinan.
Hasil pleno itulah yang seharusnya disampaikan kepada bupati untuk ditetapkan secara administratif.

Namun, mekanisme ini disebut tak pernah dijalankan.
“Penetapan lima nama baru tidak melalui pleno resmi. Tidak ada proses penjaringan, tidak ada usulan formal dari MPK. Nama-nama itu langsung muncul di SK Bupati,” ujar seorang sumber internal MPK yang enggan disebutkan namanya.

Pleno yang dikabarkan digelar pada 4 Desember 2025, disebut hanya sebatas seremonial.

“Nama-nama itu sudah ditentukan jauh hari sebelum pleno. Berita acara hanya untuk melengkapi berkas administrasi,” tambah sumber tersebut.

Jika benar demikian, maka keputusan Bupati Oyon jelas bertentangan dengan semangat qanun yang menegaskan kemandirian MPK sebagai lembaga otonom dalam urusan pendidikan.
Terlebih, salah satu nama yang ditunjuk sebagai ketua pengganti—Ahmad Damhuri Nasution, disebut-sebut merupakan adik dari istri Bupati Oyon.

*Sorotan Ganda: Domisili dan Konflik Kepentingan*

Sorotan publik tak berhenti pada prosedur.
Damhuri, yang kini menjabat Ketua MPK Aceh Singkil, juga disorot karena diduga tidak memenuhi syarat domisili sebagaimana diatur qanun—yang mewajibkan setiap pengurus tinggal di wilayah Kabupaten Aceh Singkil.

Beberapa sumber menyebut Damhuri berdomisili di Medan, Sumatera Utara, dan berprofesi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di sana.
Saat dikonfirmasi wartawan, Damhuri membantah tudingan itu.

“Saya tinggal di Desa Lae Butar, Kecamatan Gunung Meriah. Ini KTP saya,” katanya sambil memperlihatkan identitasnya.

Namun, isu hubungan kekerabatan dengan Bupati tetap mencuat.
Publik menilai, hubungan darah itu menimbulkan dugaan kuat adanya nepotisme dalam proses pengangkatan.

*Nepotisme yang Berulang*

Kasus ini bukan yang pertama.
Beberapa bulan sebelumnya, Bupati Safriadi Oyon juga dikritik karena menunjuk Edy Widodo, adik iparnya, sebagai Penjabat Sekretaris Daerah Aceh Singkil, serta melantik Hidayat Riadi Manik, anak kandungnya, sebagai Ketua KONI dan Ketua PMI Aceh Singkil.

“Rezim ini menunjukkan bahwa nepotisme sudah seperti budaya. Seolah tak peduli kritik publik, padahal ini tidak sehat untuk roda pemerintahan ke depan,” tegas Ahmad Fadil Lauser Melayu Ketua Forum Mahasiswa Aceh Singkil.

Saat ditanya media terkait tudingan nepotisme, Damhuri hanya menjawab singkat:

“Kalau soal itu, urusan intern lah.”


*Minim Transparansi, Publik Minta Audit Kelembagaan*

Hingga berita ini diterbitkan, Bupati Oyon maupun Sekretariat MPK belum memberikan klarifikasi resmi terkait dasar hukum penetapan lima pengurus baru itu.
Minimnya transparansi justru memperkuat dugaan publik akan pelanggaran prosedural dan konflik kepentingan.

Sejumlah pemerhati pendidikan menilai, langkah Bupati Oyon adalah bentuk intervensi terhadap lembaga independen.
“MPK bukan perangkat daerah, tapi mitra strategis pemerintah. Jika proses internalnya dikendalikan kepala daerah, independensinya hilang,” ujar seorang akademisi yang meminta namanya dirahasiakan.

Ia menambahkan, situasi ini menjadi cermin buram bagi tata kelola pendidikan daerah.

“Kalau lembaga pendidikan saja tidak bisa menaati mekanisme sendiri, bagaimana publik percaya kebijakan pendidikan kita bebas dari politik?”

*Refleksi: Cermin Buram Tata Kelola Pendidikan*

Kisruh MPK Aceh Singkil seolah menjadi potret krisis integritas di tingkat lokal.
Dalam konteks Aceh—yang memiliki keistimewaan dan kewenangan khusus lewat qanun—penyimpangan seperti ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak.

Saat publik menanti kejelasan, yang tersisa justru kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga yang seharusnya menjaga moralitas pendidikan.

Apakah keputusan ini hanya sekadar rotasi administratif, atau justru pertanda bahwa kekuasaan telah terlalu nyaman bermain di ranah pendidikan?
Pertanyaan itu kini menggantung di ruang publik Aceh Singkil—menunggu jawaban dari mereka yang seharusnya menjaga integritas.
Close Tutup Iklan