Iklan
![]() |
| Kapolres Aceh Singkil AKBP Joko Trioyono SIK dan Jajaran Memperlihatkan Barang Bukti Kepada Awak Media dalam Konferensi Pers di Mapolres, Jum'at (7/11/2025). |
Aceh Singkil — Malam itu 15 Oktober 2025 seharusnya menjadi malam penuh tawa di Desa Haloban, Kecamatan Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil. Musik berdentum, lampu warna-warni berkelap-kelip, dan warga larut dalam suasana pesta. Namun di tengah riuh joget dan denting musik itu, sebuah senggolan kecil justru berubah menjadi perkelahian berdarah.
Engki Irawan (30), seorang nelayan muda yang dikenal ramah di kampungnya, malam itu hanya ingin menikmati hiburan selepas melaut. Di tengah keramaian, tubuhnya tak sengaja bersenggolan dengan salah satu pengunjung pesta, NI (29), seorang mahasiswa asal kampung yang sama.
Sekilas, peristiwa itu tampak sepele—hal yang sering terjadi di tengah kerumunan. Tapi malam itu berbeda. Dari senggolan kecil, berlanjut adu pandang, lalu adu mulut. Suasana pesta yang semula hangat berubah tegang.
Tak lama kemudian, muncul NO (29), teman NI, yang ikut tersulut emosi. “Ayo kalau berani, lawan!” tantangnya. Engki memilih diam. Ia tak ingin memperpanjang masalah. Namun ejekan “penakut” yang terlontar malam itu rupanya meninggalkan bara dalam hati para pelaku.
Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 02.15 dini hari, ketika pesta sudah usai dan warga mulai terlelap, dua sosok mendatangi rumah kayu milik Engki. Tanpa permisi, mereka masuk dan melayangkan pukulan bertubi-tubi. Jeritan Engki memecah keheningan malam, hingga warga sekitar berhamburan keluar.
Ketika polisi datang, darah sudah mengering di wajah sang nelayan. Luka di tubuhnya menjadi saksi bahwa dendam, sekecil apa pun, bisa berubah jadi bencana.
Kapolres Aceh Singkil AKBP Joko Triyono membenarkan peristiwa itu. “Kedua pelaku kini sudah kami tahan di Mapolres Aceh Singkil. Kasus ini merupakan pelimpahan dari Polsek Pulau Banyak Barat,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (7/11/2025).
Menurut Kapolres, kedua pelaku dijerat dengan Pasal 170 ayat (1) junto Pasal 351 ayat (1) junto Pasal 55 KUHP tentang penganiayaan secara bersama-sama.
Bagi warga Haloban, kejadian ini menjadi pelajaran berharga. Di balik hiburan yang seharusnya mempererat kebersamaan, justru muncul luka akibat amarah yang tak terkendali.
Kini, pesta telah lama usai. Musik berhenti, lampu padam, tapi luka di wajah Engki—dan luka sosial di kampung kecil itu—mungkin akan butuh waktu lama untuk sembuh.
Sebuah senggolan bisa dimaafkan, tapi jika ego lebih tinggi dari akal sehat, yang tersisa hanyalah penyesalan. Dalam kehidupan sosial sekecil apa pun, kendali emosi dan rasa saling menghormati menjadi batas tak terlihat yang menjaga harmoni antar warga. Dari Haloban, kita belajar: bukan pesta yang membawa bencana, tapi manusia yang lupa cara menahan diri.

Tutup Iklan