Iklan
![]() |
| Kapolres AKBP Joko Trioyono SIK Menunjukkan Barang Bukti Sebuah Baju Korban, Saat Menggelar Konferensi Pers Sejumlah Kasus Yang Sedang Diproses. Jumat (24/10/2025). |
Aceh Singkil – Suasana di sebuah rumah sederhana di Kecamatan Gunung Meriah masih diselimuti embun. Dari dapur, samar-samar terdengar suara ayam berkokok dan sendok beradu di gelas — pertanda kehidupan mulai berdenyut pelan di pelosok kampung itu.
Di salah satu kamar kecil tanpa pintu, FT, gadis 18 tahun, masih tertidur bersama adik perempuannya. Tak ada yang istimewa pagi itu, hingga langkah kaki seseorang diam-diam mendekat — langkah yang kemudian mengubah seluruh hidupnya.
Orang itu adalah AL (30), suami dari kakaknya sendiri. Lelaki yang selama ini ia panggil abang ipar, sosok yang seharusnya melindungi keluarga, justru datang membawa ancaman dan kejahatan. Dalam senyap, ia melakukan perbuatan yang tak pantas terhadap FT.
Saat sadar siapa pelakunya, tubuh remaja itu gemetar. Rasa takut, malu, dan tidak percaya bercampur menjadi satu. Ia hanya bisa menangis dalam diam, terutama ketika pelaku mengancam agar ia tidak menceritakan kepada siapa pun — dengan iming-iming uang Rp50.000.
Namun air mata FT bukan tanda menyerah. Di tengah ketakutan, ia memilih melawan. Kepada sang kakak, ia akhirnya bercerita. Air mata dua perempuan itu pecah bersama — satu karena luka, satu lagi karena dikhianati oleh orang yang paling ia percaya.
Dengan dukungan sang ibu, mereka kemudian melapor ke Polres Aceh Singkil. Polisi bertindak cepat.
“Pelaku kami tangkap setelah laporan masuk. Ia kami amankan di rumahnya saat tidur, pada 15 Oktober malam,” kata Kapolres Aceh Singkil, AKBP Joko Triyono, kepada wartawan.
Menurut Kapolres, kasus ini menjadi peringatan bagi masyarakat Aceh bahwa pelecehan seksual di lingkungan keluarga adalah bentuk pengkhianatan paling dalam terhadap nilai-nilai agama dan adat.
“Tidak ada alasan yang bisa membenarkan perbuatan seperti ini. Hukum harus ditegakkan agar ada efek jera,” tegasnya.
Kini AL harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Ia dijerat Pasal 46 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dengan ancaman kurungan hingga 45 bulan penjara.
Namun, bagi FT dan keluarganya, hukuman itu belum tentu mampu menghapus luka yang tertanam dalam. Di balik proses hukum, ada trauma yang akan mereka rawat bersama waktu.
FT mungkin hanyalah gadis kampung biasa, tapi keberaniannya membuka aib keluarga demi mencari keadilan menunjukkan satu hal: bahwa keberanian tak selalu datang dari orang kuat, melainkan dari mereka yang paling terluka.

Tutup Iklan