Iklan

Kamis, 02 Oktober 2025, 13.33.00 WIB
ACEH SINGKIL

Bertahun - Tahun Langgar Aturan Sempadan Sungai, PT Socfindo Lae Butar Seolah Kebal Hukum

Iklan

Sempadan Sungai di Wilayah HGU PT Socfindo Aceh Singkil.

Aceh Singkil - PT Socfindo Lae Butar adalah salah satu perusahaan kelapa Sawit di Aceh Singkil dan paling lama berdiri di Aceh Singkil jauh sebelum mekar dari kabupaten Aceh Selatan tahun 1999.


Perusahan milik asing (PMA) asal Belanda cukup berjasa di untuk perputaran ekonomi di Aceh Singkil sebab perusahaan yang memiliki HGU 4.414.48 itu memperkerjakan sebahagia besar masyarakat sekitar.


Namun meski perusahan tersebut mulai berdiri dari tahun 1930 jauh sebelum Indonesia merdeka terkesan perusahan ini abai regulasi yang di buat Pemerintah terutama tentang aturan Sempadan sungai untuk melindungi lingkungan , hutan plora dan fauna, mereka tetap saja menanam kelapa Sawit di pinggir Sempadan Sungai, akibatnya kebanjiran terutama di wilayah Desa Sidorejo, Desa Blok 15, Desa Sanggaberu Silulusan, dan Desa blok 18.


Perusahan ini seolah kebal hukum, sorotan publik, masyarakat tak mereka dengar, dianggap seperti angin berlalu. Tindakan mereka hanya memikirkan untung bagi perusahaan tapi dirugikan negara dan ancaman bagi lingkungan.


"Perusahaan kelapa sawit PT Socfindo Lae Butar diduga melanggar aturan garis sempadan sungai. Pelanggaran tersebut sudah berlangsung puluhan tahun,"kata Warman anggota DPRK Aceh Singkil Komisi II saat mengunjungi sungai di wilayah Desa Sidorejo, Kecamatan Gunung Meriah Jum'at (11/7/2025) bersama rekannya Juliadi Bancin tak lain adalah ketua komisi II DPRK.


"Perusahan ini memperpanjang HGU pada tahun 1997. Sementara Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, yang telah diperbarui melalui Permen PUPR Nomor 28/PRT/M/2015.

Jika merujuk dengan aturan sempadan sungai pada tahun 1993 , maka PT Socfindo melanggar aturan kurang lebih 28 tahun dan seharusnya tidak layak diberikan pembaharuan HGU," tegasnya.


Lebih lanjut Warman menjelaskan  dalam aturan disebutkan bahwa untuk sungai besar yang tidak ber tanggul di luar kawasan perkotaan, garis sempadan minimal adalah 100 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai. Sedangkan untuk sungai kecil, jaraknya minimal 50 meter.


Pantauan kita lahan milik PT Socfindo di Kebun Lae Butar yang diduga berada dalam kawasan sempadan sungai. Jika ini benar, berarti telah terjadi pelanggaran yang berdampak langsung terhadap lingkungan, termasuk potensi banjir saat musim hujan serta adanya potensi kerugian negara.


Kita melihat perusahaan ini seperti kebal hukum, namun kami meyakini di pemerintahan bapak Prabowo ini, pelanggaran yang dilakukan akan ditindak tegas sebagai bentuk keadilan hukum kepada masyarakat sebab akibat ulah perusahaan tersebut menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan, erosi hingga menyebabkan rumah - rumah penduduk kebanjiran.


“Kita tidak boleh membiarkan hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Jika memang ada pelanggaran, perusahaan juga harus bertanggung jawab,” 


Dia juga meminta agar pemerintah menghitung kerugian negara akibat pelanggaran garis sempadan sungai ini. "Kami menduga, kerugian ini mencapai ratusan miliar," kata Warman.


Ditempat terpisah, Legal Advokasi Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) Ihsan menyoroti perusahaan yang abai soal lingkungan bahkan dia mengatakan penanaman pohon kelapa sawit sampai ke sempadan sungai tidak sesuai dengan prinsip dan kriteria ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang berperan untuk menormalisasi pembentukan sistem berkelanjutan (Sustainable) dalam usaha perkebunan sawit.


Seperti diketahui PT Socfindo di Aceh Singkil perusahan satu - satunya yang memiliki sertifikat RSPO. Namun dengan melanggar Sempadan sungai tersebut, sertifikat tersebut layak dipertanyakan.


"Jika ada pihak-pihak yang melakukan penanaman sawit pada garis sempadan sungai maupun sempadan danau,  itu jelas telah melanggar aturan, karena  mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 63 Tahun 1993 tentang Garis Sepadan Sungai, yang kemudian diperbarui dengan Permen PUPR Nomor 28/PRT/M/2015. Regulasi tersebut menetapkan bahwa jarak minimal garis sempadan sungai besar tanpa tanggul di luar kawasan perkotaan adalah 100 meter dari tepi palung sungai, dan untuk sungai kecil minimal 50 meter,"


Sempadan Sungai tidak boleh ditanami yang bukan peruntukan karena dapat merusak ekosistem lingkungannya. Jika ada perusahaan dimanapun tidak taat atau melanggar aturan tersebut,  harus  di berikan sanksi, sanksi administrative dapat berupa  teguran bahkan bahkan pencabutan  Izin  IUP/HGU nya. 


"Jika perusahaan tersebut sudah mendapat sertifikat ISPO dan RSPO seharusnya lembaga /organisasi  pemberi sertifikat tersebut,  berkewajiban  memberikan teguran atau evaluasi atas sertifikat yang diberikan,"katanya Jumat (25/7/2025).


Sorotan DPRK, masyarakat, dan yayasan alam dan lingkungan hingga kini belum ada tindakan apapun seakan dianggap angin lalu oleh perusahaan PMA tersebut.

Close Tutup Iklan