Iklan

Senin, 24 November 2025, 13.05.00 WIB
ACEH SINGKIL

Longsor di Lipat Kajang Bukan Semata Bencana Alam, Ada Jejak Pengerukan : Ada Izin atau Tidak?

Iklan

Syam'un Kepala Dinas Perhubungan dan Al-Husni Kepala BPBD Aceh Singkil Saat Turun Ke Lapangan Untuk Mengevakuasi Longsor.Senin (24/11/2025). (Istimewa).

Aceh Singkil – Longsor yang terjadi di jalan lintas nasional, tepatnya di perbatasan Desa Lipat Kajang–Lipat Kajang Atas, Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil, Senin dini hari (24/11/2025), memunculkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Pasalnya, sebelum bencana terjadi, diduga terdapat aktivitas pengerukan tanah timbunan di area perbukitan persis di sisi badan jalan.


Material longsor berupa tanah, pohon besar, dan tiang listrik tumbang menutup jalan hingga arus lalu lintas lumpuh total selama berjam-jam. Beruntung tidak ada korban jiwa, namun gangguan lalulintas menyebabkan kerugian bagi masyarakat yang melintas.


Sekitar pukul 09.55 WIB, tim gabungan dari BPBD Aceh Singkil, Dinas Perhubungan, pihak kecamatan, dan instansi terkait tiba di lokasi untuk melakukan pembersihan material. Setelah beberapa jam proses evakuasi, jalur kembali bisa dilewati.


*Dugaan Penyebab Longsor: Ada Aktivitas Pengerukan Tanah?*


Informasi yang beredar menyebutkan bahwa sekitar tiga bulan sebelum longsor, pemilik lahan di kawasan tersebut diduga melakukan pengerukan tanah menggunakan beberapa alat berat. Aktivitas ini disebut dilakukan untuk kebutuhan timbunan.


Camat Simpang Kanan, Mara Adam Daulay, membenarkan bahwa sebelumnya memang ada aktivitas pengambilan tanah di lokasi tersebut.


“Waktu itu memang kita sayangkan, Bang. Banyak pihak menganalisa bahwa pengerukan tanah itu berpotensi menyebabkan longsor. Benar saja, saat musim hujan datang langsung longsor,” ujarnya kepada PENAACEH.


Namun soal kepastian teknis penyebab longsor, ia menegaskan tidak memiliki kewenangan. Soal pengambilan tanah itu tidak ada pemberitahuan kepada kita (Kecamatan).


“Kalau soal itu saya tidak ada hak menyampaikan, Bang. Bukan tupoksi saya,” tambahnya.


Kepala BPBD Aceh Singkil, Al-Husni, juga memberikan keterangan senada.


“Kalau penyebabnya bukan ranah kami, Bang,” ujarnya singkat.


*Izin Lingkungan & Legalitas Pengerukan Dipertanyakan*


Kini publik mempertanyakan apakah pengerukan tanah tersebut memiliki izin lingkungan, izin galian, serta dokumen peruntukan yang jelas. Apakah pengerukan itu dilakukan untuk kebutuhan pribadi, lembaga, atau terkait proyek pemerintah?


Jika aktivitas tersebut benar terkait proyek pemerintah namun tidak mengantongi izin, persoalan bisa menjadi lebih serius. Dampaknya bukan hanya pada masyarakat, tetapi juga pada kerugian negara, termasuk biaya penanganan longsor, kerusakan jalan nasional, hingga kerusakan fasilitas PLN.


Hingga berita ini tayang, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Aceh Singkil Surkani serta Kepala Dinas Perizinan Aidil Syahputra belum memberikan keterangan meski telah beberapa kali dihubungi.


*Ancaman Longsor Susulan Masih Ada*


Informasi lapangan menyebutkan bahwa material pada tebing bukit belum sepenuhnya stabil. Masih ada sisa tanah yang berpotensi turun sewaktu-waktu, terutama saat hujan deras, yang dapat mengancam keselamatan pengendara dan warga sekitar.


Masyarakat meminta pemerintah daerah segera mengambil langkah pencegahan agar tidak terjadi longsor ulang di titik yang sama.


*Aturan & Sanksi Hukum Terkait Pengerukan Tanah / Galian C Tanpa Izin Yang Dirangkum PENAACEH dari Beberapa Sumber*


Jika dugaan pengerukan tanah tanpa izin benar terjadi, beberapa regulasi berikut dapat diterapkan:


1. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba (Galian C)


Aktivitas pengerukan tanah termasuk kategori pertambangan mineral bukan logam dan batuan.


Pasal 158

Penambangan tanpa izin:


Pidana penjara hingga 5 tahun


Denda maksimal Rp100 miliar


2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Pasal 36

Setiap kegiatan yang mengubah bentang alam wajib memiliki izin lingkungan (AMDAL/UKL-UPL).


Pasal 109

Kegiatan tanpa izin lingkungan:


Pidana 1–3 tahun


Denda Rp1–3 miliar



Pasal 69 ayat (1) huruf h

Larangan melakukan aktivitas yang merusak lingkungan.


Pasal 98

Jika aktivitas menyebabkan kerusakan yang mengancam keselamatan manusia:


Pidana 3–10 tahun


Denda Rp3–10 miliar


3. PP RI No. 23 Tahun 2021


Mengatur perizinan galian C melalui OSS serta kewajiban teknis operasional.


Sanksi administratif:


Penghentian kegiatan


Penyitaan alat


Kewajiban pemulihan lokasi


4. Aturan Turunan Provinsi Aceh


Qanun Aceh No. 19 Tahun 2013 tentang RTRW

Melarang aktivitas perusakan di kawasan perbukitan dan tebing penyangga jalan.


Qanun Lingkungan Aceh Singkil (umum):


Teguran tertulis


Penghentian sementara kegiatan


Pencabutan izin


Denda administratif


5. Potensi Sanksi Lain


Jika benar tidak ada izin, pelaku dapat dikenakan:


Penghentian total aktivitas pengerukan


Penyitaan alat berat


Kewajiban reklamasi/pemulihan lahan


Ganti rugi terhadap pemerintah, PLN, dan masyarakat

Close Tutup Iklan