Iklan
![]() |
| Tim Banggar DPRK dan TAPK Aceh Singkil Saat Sinkronisasi Perubahan APBK 2025. (Idrus Syahputra). |
Aceh Singkil – Waktu terus bergulir, namun proses pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) 2026 justru nyaris tak menunjukkan kemajuan berarti. Satu pekan terakhir yang seharusnya menjadi fase paling krusial kini berubah menjadi sumber kecemasan baru bagi masyarakat Aceh Singkil. Ironisnya, pada tahun pertama pemerintahan Safriadi Oyon dan Hamzah Sulaiman, dokumen KUA–PPAS bahkan belum diserahkan, sementara batas waktu normal sudah di depan mata.
“Hanya tersisa beberapa hari masa normal untuk menyelesaikan pembahasan dan penetapan APBK 2026 menjadi Qanun,” ujar Amaliun kepada PENAACEH, Minggu (23/11/2025).
Ia menegaskan, DPRK akan kembali melayangkan surat resmi kepada Pemkab pada Senin (24/11/2025) agar segera menyerahkan R-KUA PPAS dan R-APBK 2026. Menurutnya, keterlambatan yang berulang ini sudah masuk kategori mengkhawatirkan.
*Publik Bertanya: Apakah Masa Depan Daerah Ini Dipikirkan Serius?*
Ketidakpastian ini memicu pertanyaan besar dari masyarakat:
• Apakah masa depan pembangunan daerah benar-benar menjadi prioritas?
• Apakah nasib warga akan kembali dibahas terburu-buru pada detik-detik terakhir?
• Mengapa pemerintah memilih diam saat publik menunggu kepastian?
Masyarakat paham dampak dari keterlambatan APBK. Setiap tahun pola yang sama terulang:
• pembangunan terhambat,
• bantuan sosial tersendat,
• layanan publik mandek,
• dan rakyat selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
Hingga berita ini ditulis, tidak ada satu pun penjelasan resmi dari Pemkab Aceh Singkil maupun TAPK. Publik menunggu jawaban, namun yang muncul hanya keheningan.
*Rakyat Berhak Tahu dan Mendapat Kepastian*
Warga Aceh Singkil memiliki hak atas:
• transparansi,
• kepastian anggaran,
• dan pemerintahan yang disiplin serta bertanggung jawab.
Aceh Singkil tidak boleh terus terjebak dalam masalah yang sama setiap tahun. Daerah ini membutuhkan tata kelola yang tertib, pejabat yang peka, serta pemerintah yang hadir saat masyarakat menuntut jawaban.
Waktu yang tersisa kian sedikit. Keterlambatan APBK bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut masa depan puluhan ribu warga yang menggantungkan layanan publik, pembangunan, dan bantuan pada APBK yang tepat waktu.
*Tenggat 30 November: Sanksi Berat Mengintai*
Secara nasional, persetujuan bersama APBD/APBK wajib rampung paling lambat 30 November. Jika melampaui batas itu, konsekuensi hukumnya serius.
1. Sanksi Administratif untuk Kepala Daerah dan DPRK
Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 312 ayat (2), kepala daerah dan DPRK yang tidak menetapkan APBK tepat waktu dapat dikenai sanksi penghentian hak-hak keuangan selama enam bulan, termasuk gaji dan tunjangan.
Jika keterlambatan disebabkan eksekutif tidak menyerahkan RAPBK tepat waktu, maka DPRK tidak dapat disanksi. Tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak kepala daerah.
2. Penundaan DAU dan DBH dari Pemerintah Pusat
Kementerian Keuangan dapat menunda penyaluran DAU dan DBH bagi daerah yang terlambat menyampaikan dokumen APBD.
3. APBK Ditapkan Melalui Perkada
Menurut PP Nomor 12 Tahun 2019, jika dalam 60 hari tidak ada persetujuan, kepala daerah dapat menetapkan APBK melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Namun anggarannya dibatasi hanya sebesar APBK tahun sebelumnya dan hanya boleh digunakan untuk belanja wajib serta mengikat per bulan.
Kondisi ini jelas sangat merugikan daerah karena banyak program prioritas tidak dapat dijalankan optimal.
*Dugaan Bupati Sengaja Mendorong APBK ke Perbup?*
Di tengah stagnasi pembahasan, muncul dugaan publik bahwa Bupati berpotensi membiarkan APBK 2026 jatuh ke skenario Peraturan Bupati (Perbup). Dugaan ini semakin kuat karena hingga kini tidak terlihat langkah signifikan dari pihak eksekutif.
Namun pemerintah daerah memilih tetap bungkam sehingga dugaan tersebut belum mendapat penjelasan.
*Publik Kini Menunggu Keberanian Pemerintah Menjawab*
Dengan tenggat 30 November yang semakin dekat, masyarakat hanya menunggu satu hal:
Apakah Pemkab dan DPRK mampu merampungkan APBK tepat waktu, atau Aceh Singkil kembali menjadi daerah penerima sanksi?

Tutup Iklan