Iklan
![]() |
Ketua DPW Alamp Aksi Aceh, Mahmud Padang (Depan). Istimewa |
Banda Aceh – Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi), Mahmud Padang, mengingatkan dokter-dokter di Aceh agar tidak bermain dalam pengadaan obat berbasis e-katalog. Menurutnya, praktik semacam ini menyalahi etika profesi sekaligus membuka celah korupsi. “Tugas dokter adalah mengobati pasien, bukan menjadi agen vendor obat,” ujar Mahmud Padang, Jum'at malam, 5 September 2025.
Mahmud mencontohkan, terdapat kasus seorang dokter spesialis di Aceh yang sibuk mencari vendor e-katalog dengan diskon tertinggi. Padahal, dokter bukanlah Pejabat Pengadaan Barang/Jasa (PPBJ) maupun apoteker yang berwenang menentukan penyedia. Akibatnya, obat yang seharusnya segera masuk ke rumah sakit dan puskesmas justru terlambat didistribusikan, sehingga stok kosong. “Dampaknya bisa stok obat kosong, pasien terlantar, sementara dokter sibuk mengurus diskon,” katanya.
Permainan diskon yang dicurigai Mahmud bukan sekadar soal efisiensi harga. Dalam praktiknya, vendor kerap memberikan diskon tinggi untuk obat-obatan yang masa kedaluwarsanya tinggal beberapa bulan. Begitu obat itu tidak terpakai, ia menumpuk di gudang dan akhirnya terbuang. Rumah sakit lalu melakukan pengadaan baru, yang lagi-lagi melibatkan dana miliaran rupiah. Pola inilah yang menurut Mahmud menjadi pintu masuk korupsi.
Sistem e-katalog yang dikelola Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sejatinya bertujuan menciptakan transparansi harga dan menutup ruang mark-up. Namun, dalam pelaksanaan di Aceh, celah pengawasan justru dimanfaatkan. Data Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan, rata-rata anggaran pengadaan obat di rumah sakit rujukan provinsi mencapai belasan miliar rupiah setiap tahun. Di tingkat puskesmas, anggaran obat juga signifikan, berkisar ratusan juta hingga miliaran rupiah. Besarnya nilai ini menjadikan sektor farmasi sebagai lahan basah.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh beberapa tahun terakhir memperkuat kekhawatiran itu. Dalam audit 2021, BPK mencatat adanya obat senilai lebih dari Rp 2 miliar yang tidak terpakai karena mendekati masa kedaluwarsa di sejumlah rumah sakit daerah. Pada 2022, temuan serupa kembali muncul dengan pola yang sama: obat menumpuk di gudang, sementara pasien mengeluhkan kekosongan stok. Pada 2023, BPK kembali menyoroti lemahnya perencanaan kebutuhan obat di sejumlah puskesmas di Aceh Besar dan Aceh Utara yang mengakibatkan defisit stok untuk penyakit menular, meski gudang masih menyimpan obat kedaluwarsa. “Itu indikasi nyata ada yang salah dalam tata kelola pengadaan obat di Aceh,” kata Mahmud.
Secara hukum, peran dokter dalam proses pengadaan sangat terbatas. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kewenangan pengadaan berada di Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Pejabat Pengadaan. Dokter hanya berhak menentukan kebutuhan medis dan spesifikasi farmakoterapi, bukan menentukan vendor atau mencari diskon. Bila dokter melampaui kewenangan itu, maka ia dapat dikategorikan melakukan maladministrasi.
Lebih jauh, menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, penyimpangan dari fungsi utama sebagai tenaga medis bisa berimplikasi pada sanksi etik, disiplin profesi, bahkan pidana bila merugikan negara.
Keterlibatan dokter dalam negosiasi vendor dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang. “Dokter tidak punya legal standing untuk menentukan vendor. Jika dalam proses itu ada potensi kerugian negara, bisa masuk ke Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, karena ada penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.
Mahmud menilai kondisi ini makin mengkhawatirkan karena selama beberapa tahun terakhir, laporan masyarakat mengenai kekosongan obat di rumah sakit dan puskesmas di Aceh semakin sering terdengar. Ia menduga keterlambatan distribusi dan stok yang habis bukan hanya persoalan anggaran, melainkan juga ulah segelintir oknum yang lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada keselamatan pasien.
Alamp Aksi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Tinggi Aceh segera melakukan audit menyeluruh terhadap praktik pengadaan obat berbasis e-katalog di provinsi tersebut. Mahmud menegaskan, tanpa pengawasan serius, sistem yang semestinya mempercepat layanan justru akan berubah menjadi alat rente.
“Ini menyangkut nyawa manusia. Kalau dokter malah jadi calo obat, lalu siapa yang menjaga hak rakyat Aceh untuk mendapat layanan kesehatan yang layak?. Kami mengingatkan semua kepala daerah, kepala dinas hingga pimpinan rumah sakit dan puskesmas di Aceh untuk tidak menunjuk dokter menjadi penghubung vendor e-katalog, kembalikan tugasnya sesuai tupoksinya melayani pasien berobat, kita akan pantau persoalan ini," tegasnya.